Langsung ke konten utama

LINGKAR INTELEKTUAL MAQASHID SYARI’AH


Part 2
Menarik ternyata jika menelisik lebih jauh kajian tentang maqashid syari’ah. Kemarin saya mencoba menaruhkan perhatian ke-eksistenian maqashid syari’ah vis to vis fitrahmanusia dengan judul “Antara Fitrah dan maqashid syari’ah”. Kali ini sayahendak menelusuri sisi maqashid syari’ah dalam sebuah konsep keilmuan.
Untuk dewasa ini, maqashidSyari’ah menjadi isu hangat dalam dunia akademik hukum islam, pasalnyatema ini telah banyak diusung oleh para ulama hukum – khususnya di dunia Timur-sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri sekaligus metodologi berpikir dalamistinbath hukum. Namun, tidak bisa dilepaskan begitu saja bahwa Maqashid Syari’ah sungguh pun telah menempuh masa yang cukup lama untuk diakuisecara ilmiah- logis, sistematis, dan dapat dipertanggung jawabkan- sebagaisebuah disiplin ilmu tersendiri.
Apabila kita cobamenengok sebentar kebelakang, sebanarnya dalam lingkup aliran-aliran madzhab fiqh telah banyak yang menyentuh nilai-nilai maqashid syari’ah, walaupun hanya sekedar sebuah selintiran-selintiran secara implisit atau hanya dalambentuk aplikatif. Sehingga maqashid syari’ah hanya sebuah formulasi “spirit realitas tanpa nama”.
Akan tetapi, ketikadipertanyakan apakah maqashid ini sudah menjadi sebuah disiplin yang independenatau tidak?. Hal ini mau tidak mau harus bersentuhan dengan area filosofisilmiah. Berkaitan dengan ini, Prof. A. Chozin Nasuha misalnya, memperteguh akan adanya sebuah karakteristik spesifik dalam rangka menilai sesuatu sebagai sebuah disiplin ilmu dan atau juga sebuah metodologi berpikir.
Bagaiamana ia memberikan asumsi-asumsi matang demi mengukuhkan ke-eksistensian Ushul fiqh,yang baginya mesti mempunyai ciri spesifik yang tersusun mengenai apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi). Ketika landasan ini saling berkaitan, maka ontology dari ushul-fiqh terkait dengan epistemologinya, epistemology ushul-fiqh terkait dengan aksiologinya, dan begitulah seterusnya[1].
Ketiga unsur yang diasumsikan di atas (disebut sebagai filsafat ilmu) secara substansi sepadan dengan prinsip-prinsip keilmuan yang ditawarkan oleh para intelektual Islam terdahulu. Mereka menekankan sepuluh pilar (mabadi ‘asyarah) yang harus dimiliki dalam sebuah disiplin ilmu. The principle of knowledge istilah lain dari pilar utama tersebut sebagai berikut:

ان مبادي كل فن عشرة * الحد والموضوع والثمرة
وفضله ونسبة والواضع * والاسم والاستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض اكتفى * ومن درى الجميع حاز الشرفا

1. Pengertian, cakupan, dan batasan; 2. Sasaran kajianatau subjek matter; 3. Kegunaan dan manfaat; 4. Keutamaan dan keunggulan; 5.Hubungan dengan ilmu lain; 6. Penemu dan pengembangnya; 7. Nama dan identitas;8. Sumber pengambilan atau sandaran; 9. Status hukum mempelajarinya; 10.Wilayah permasalahan;

     Dalam pembukaan acara Stadium General program PendidikanKader Ulama (PKU) 2012-2013, di Ma’had ‘Ali al-Hikamus Salafiyah Babakan Ciwaringin Cirebon Prof. Chozin menyampaikan sebuah makalah dengan judul “Filsafat Ilmu Kitab Kuning”, menambahkan dua unusr lain diluar sepuluh pilar diatas demi tercipatanya sebuah disiplin ilmu yang paripurna, yakni;  11. Kelengkapan unsur informasi, teori,hipotesa, aksioma, sampai konsep; 12. Metodologi.
     Dari penjelasan di atas, maqashidsyari’ah tidak akan mungkin terlepas dari konseptual tersebut, ketika banyak orang mempertanyakan apakah maqashid syari’ah ini merupakn sebuahdisiplin ilmu sendiri ataukah hanya sebagian metode istinbath hukum dalam ilmuushul fiqh. Sehingga suatu kemestian yang diperlukan -demi menampakan jawaban atas pertanyaan tersebut- mengkaji dua aspek berikut; aspek historis dan aspek filosofis. Aspek historis dimaksudkan melacak posisi maqashid disikapi oleh para ulama dan atau ilmuan syari’ah terdahulu sampai terbentuknya sebagai sebuah kajian yang spesifik. Sedangkan aspek filosofis menyodorkan argumen-argumen keilmuan yang autentik yang dapat membuktikan bahwa maqhasid ini dapat dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang sesuai dengan kerangka konvensi sebuah ilmu.
          
Pertama, Dengan pendekatan historis yang sedikitnya dapat menjadi pertimbangan dalam memposisikan status ilmu Maqashid.
Sebenarnya, ulama maqashid dari beberapa madzhab sudah dimulai dari dulu dan bahkan mengakar dalam perkembangan selanjutnya. Ini diasumsikan bahwa dari ulama terdahulu setiap madzhab pun telah menaruh maqashid sebagai unsur penting penetapan hukum syari’at. Dapat dilihat berikut ulama-ulama yang menaruh perhatian dan pengusung dasar dan benih Maqashid As-Syari’ah, yang dikelompokan berdasarkan aliran madzhab fiqh:
Asy-Syafi’i; imam Haramain al-Juwaini, al-Ghazali, ar-Razi dan muridnya al-Amidi, al-‘Izzu ibn Abdissalam dan muridnya al-Qarafi. Dari Hanbali seperti Ibnu Taimiyah yang diikuti muridnya Ibnu al-Qayyim al-Jauziah dan ath-Thufi. Dari Maliki ada imam asy-Syathibi dan lain-lainnya.
Kemudian bagaimana para ulama tersebut mengeksplorasikan Maqashid dalam pemikiran-pemikirannya. Tentunya ini tidak bisa dijelaskan secara spekulasi dan serampangan. Mau tidak mau meski dilacak terlebih dahulu periode perkembangan Maqashid.
Ada beberapa periode perekembangan Maqashid as-Syari’ah, dimana tidak kurang dari tiga fase. Periodisasi ini dimulai dari masa sahabat yang merupakan embrio dan benih-benih terbentuknya Maqadshid sampai masa munculnya al-Juwaini yang dikenal dengan sebutan imam Haramain. Disini maqashid asy-Syar’iyah hanya sebagai “realitas tanpa nama”. Kemudian dilanjutkan pada fase dimana maqashid sudah mulai diperbincangkan dan dijadikan salah satu bab pembahasan terpisah dari bahasan lain. Fase ini mungkin dimulai oleh al-Juwaini.
Fase terakhir menampilkan maqashid sebagai sebuah perspektif tersendiri sebagai sebuah kajian tersendiri secara keilmuan. Ini digambarkan sebagai periode pengusungnya yakni: al-‘Izzu ibn Abdissalam, asy-Syathibi, yang selanjutnya diikuti oleh Ibnu ‘Atsur dan ‘Alal al-Fasi[1].  
Ketiga fase perkembangan Maqashid Syari’ah di atas kiranya dapat dirumuskan dan dideskripsikan sebagai berikut:
a.      Fase Pra-Ushuliyun
Fase ini disebut dengan fase pra-Ushuliyun sebab dalam fase ini Maqashid Syari’ah hanyalah sebuah nilai-nilai dari wahyu Allah (al-Qur’an) dan sabda rasul al-Hadits serta sebuah aplikatif yang dilakukan oleh para sahabat Nabi dalam menetapkan hukum. Namun, secara konseptual sudah merupakan embrio dari sebuah praktek Maqashid Syari’ah. Istilah pra-Ushuliyun diasumsikan, bahwa secara konkrit dan kebakuan keilmuan di masa ini ilmu Ushul Fiqh pun belum muncul, hanya saja tidak bisa dinafikan di masa ini pula benih-benih ushul fiqh pun telah terlihat. [2]
   Dapat dilihat misalnya kaidah-kaidah tentang Maqashid Syari’ah yang mendapat legitimasi dari nash:
Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu[3]
Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.[4]
Dia (Allah) sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.[5]
Dalam al-Sunnah misalnya nabi pernah juga mengatakan nilai-nilai Maqashid Syari’ah, seperti berikut:
            Maka sungguh kalian diutus untuk mempermudah bukan menyulitkan.[6]
            Selain sabda-sabda ini banyak sekali ungkapan-ungkapan nabi yang mengandung unsur maqashid.[7]
            Begitu juga para sahabat Nabi banyak melakukan tindakan-tindakan yang mengandung unsur Maqashid Syari’ah. Terbukti apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abas saat ditanya tentang jama’ shalat bukan dalam keadaan di perjalanan: “Rasul tidak menghendaki adanya kesulitan bagi umatnya”[8]. Juga bagaimana para sahabat mengumpulkan al-Qur’an dengan alasan khawatir adanya penyia-nyiaan serta semata-mata menjaga agama (hifdzu din).[9]
            Selain itu, pada masa selanjutnya dapat dilihat juga bahwa sebelum muncul sebuah kerangka metodologi istinbath hukum yang sistematis, yakni Ushul fiqh, para ulama dari tabi’in sampai munculnya ilmu ini telah mempraktekan metodologi qiyas. Dalam metode qiyas ini justru menampilkan sebuah keputusan berdasarkan pertimbangan illat, dan illat ini pasti akan memperbincangkan Maqashid Syari’ah.[10]
            Jadi, dapat disimpulkan bahwa Maqashid Syari’ah pada fase ini merupakan realitas tanpa nama. Hanya Ruh-ruh Maqashid sungguh telah terrealisasikan dalam menyelesaikan persoalan.
b.     Fase Ushuliyun
Dalam fase ini Ushul fiqh telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri. Imam asy-Syafi’i selaku penyusun kitab ushul fiqh pertama dengan nama Ar-Risalah[11]. Setelah asy-Syafi’i menyusun sebuah kitab tentang ushul fiqh secara sistematis, maka mulailah bertebaran kreativitas para ulama setalahnya membangun dan mengembangkan kajian ushul fiqh. Pada masa inilah ushul fiqh mendapat perhatian besar dalam wliayah hukum Islam.
Ushul fiqh sebagai produk pemikiran agama  mengandung pengertian bahwa ia juga merupakan ilmu metodologi  istinbath ahkam yang secara ontologis ilmu ini dapat dikelompokan menjadi empat point yaitu (1) nilai-nilai aturan hukum (2) dasar-dasar aturan hukum (al-adillah al-syar’iah) (3) cara atau metoda menganalogikan dalil menjadi hukum, dan (4) ketentuan ijtihad, taqlid, dialektika kontradiktif, dan tarjih[12].
Sebagai sebuah ilmu sekaligus menjadi metodologi istinbath hukum, Ushul fiqh ternyata banyak menaruh perhatian atas Maqashid Syari’ah dalam metodenya, seperti dalam   bab qiyas, bab mashalih mursalah, bab at-Ta’arudh dan at-Ta’adul di dalamnya selalu membicarakan nilai-nilai maqashid[13].



Bagaimana tidak, dalam kajiannya pula para ushuliyun selalu memposisikan Maqashid Syari’ah sebagai salah satu tolok ukur dalam merumuskan batasan dilalah alfadz atau makna kata-kata. Ada tiga pijakan ushuliyun tentang dilalah alfadz, yakni:
1.      Teori tentang makna dasar kata
2.      Kedinamisan Perkembangan makna sebuah lafadz serta makna konteks ‘urf penggunaan kata.
3.      Memlihara realisasi tujuan-tujuan syari’ah dengan membenturkan kepada Maqashid Syari’ah.[14]
Kajian Ushul yang bersentuhan dengan kaidah dan atau nilai-nilai Maqashid Syari’ah pada fase Ushuliyun ini dapat dibagi menjadi dua motivasi; Maqashid dijadikan sebagai sebuah spirit penetapan hukum dan sebagai metodologi dalam Ushul fiqh.
Sehingga dalam prakteknya para ushuliyun dapat dibagi atas tiga kelompok dilihat dari porsi Maqashid Syari’ah dalam kitabnya, yaitu:
a.       Maqashid Syari’ah hanya sebuah spirit dengan ungkapan eksplisit
Banyak sekali para ushuliyun yang meyinggung nilai-nilai Maqashid Syari’ah dalam kitab Ushulnya. Dapat dikatakan ini dari mulai terbentuknya ushul fiqh sebagai sebuah disiflin ilmu mandiri secara sistematis, yakni pada masa imam asy-Syafi’i dengan ar-Risalahnya. Juga, masanya Abu Ishaq asy-Syairozi (393-476 H) yang mengarang kitab “at-Tabshirah”, walaupun secara eksplisit dalam kitab ini tidak ditemukan indikator Maqashid. Akan tetapi, dalam kitab ini ada penyebutan tentang konsep maslahat dalam bab qiyas, yakni suatu maslahat tidak bisa diidentifikasi melalui jalan qiyas.[15] 
Asumsi dari adanya kelompok ini dapat diuraikan dalam dua hal; pertama, danya keterkaitan erat ilmu Ushul fiqh dengan masalah qiyas. Sebab salah satu rukun qiyas adalah illat hukum. Kedua, dalam bab adillah mukhtalafah konsep masalih mursalah secara subsansial akan membicarakan maqashid syari’ah, yakni kemaslahatan syar’iyah[16].   
b.       Maqashid Syari’ah sebagai tema khusus dalam Ushul fiqh
Pada masa berikutnya ada Imam Haramain al-Juwaini (419-478 H)[17], dalam kitabnya “al-Burhan fi Ushul Fiqh”ia banyak menggunakan istilah qashdu (maksud) dan ghardh (tujuan). Juga, ia melirik juga sisi keurgenan Maqashid Syari’ah.[18]  Dapat diperhatikan salah satu petikan dari tulsannya dalam kitab tersebut; “siapa saja yang tidak pintar-pintar memahami aspek maqashid dalam setiap bentuk perintah dan larangan berarti ia belum mampu mengidentifikasi penetapan syari’ah, sebab kaidah maqashid merupakan rahsia di balik bentuk perintah dan larangan tersebut”[19].     
Dapat dikatakan bahwa al-Juwaini inilah yang pertama kali menaruh perhatian Maqashid Syari’ah dalam kajian ushul fiqh. Sehingga, pada masa selanjutnya bertebaran pula para ulama ushul yang membahas Maqashid Syari’ah dalam kitabnya. Muncul ulama dari kalangan madzhab Hanafi imam as-Sarkhasi (483 H)[20]  misalnya,  yang selalu menyangkutkan masalah-masalah furu’ dalam kajian ushul fiqh dalam kitab “Ushul as-Sarkhasi” dengan maksud-maksud setiap masalahnya.
Selain itu, tokoh-tokoh ulama Ushul lain seperti al-Ghazali (...H),[21] yang mengembangkan pemikiran gurunya al-Juwaini; yakni memperjelas klasifikasi maqashid pada lima penjagaan, penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, kemudian menyusun secara sistematis berdasarkan tiga tingkatan: Dharuriyah, Hajiyah, dan Tahsiniyah.[22]
Juga, Abu al-Khatab (432-510 H)[23], Ibnu al-Burhan (479-518 H)[24], Abu Bakar Muhammad as-Samarqandi (575 H)[25], Fakhruddin ar-Razi (544-606 H)[26], Ibnu Qudamah (541- 620 H)[27], Saifuddin al-Amidi (631 H)[28], dan Ibnu Hajib.
c.       Kitab Ushul fiqh Maqashid Syari’ah
Apabila Ulama-ulama sebelumnya memnciptakan kitab-kitab ushul fiqh dengan memerankan unsur maqashid dalam setiap metode istinbatnya, maka masa selanjutnya muncullah ulama ushul fiqh yang lebih memfokuskan kajian maqashid dalam ushul fiqh sebagai sebuah kitabnya yang lebih khusus. Diantanya dan al-Izzu ibn Abdissalam (577-660 H)[29]  dan muridnya al-Qarafi (684 H)[30] dengan kitabnya “Syarh al-Mahsul; an-Nafais” dan “tanqih al-Fushul”, “al-Furuq”, dan muncul juga Ibn Taimiyah ()[31]  serta dua muridnya Ibnu al-Qayyim (751 H)[32] dan ath-Thufi ()[33].
Terakhir muncul juga ulama ushul fiqh maqashid yang penomenal, yakni Iman asy-Syatibi (720-790 H)[34] dengan “al-Muwafaqat”-nya. Ia membawa konsep maqashid dengan model yang berbeda dengan para pendahulunya. Baginya, konsep maqashid yang telah ada selama ini terlalu ringan sehingga perlu direkontruksi. Dari sini ia sangat penomenal dengan konsep baru tentang maqashid-nya. Ia membagi maqasid atas dua bagian:   Maqashid asy-Syaari’ dan Maqashid al-Mukallafin.
Untuk yang pertama ini ia bagi lahi kepada empat bagian: 1. Maksud Syaari’ dalam rangka pembuatan suatu syari’at, 2. Maksud Syaari’ sebagai sebuah pemahaman, 3. Maksud Syaari’ bagi pembebanan, 4. Maksud Syaari’dalam rangka memasukan mukallaf dibawah naungan hukum Syari’ah[35].
Karena begitu menggemparkannya konsep maqashid yang diusung oleh asy-Syathibi ini, para ulama setelahnya selalu menyebutnya sebagai bapak maqashid. Walaupun sampai akhir hayatnya maqashid belum diproklamirkan sebagi sebuah disiflin ilmu. ia masih menginduk pada ilmu Ushul fiqh. 
c.       Fase Tadwin
Dari sekian banyak ulama ushul pada fase di atas, Maqashid Syari’ah terlihat hanya dalam sebuah nilai-nilai atau spiritnya saja. Dalam pengertian, pengungkapan tentang teori dan konsep Maqashid Syari’ah dalam kitab ushul fiqh hanya berupapelengkap dan atau penunjang metodologi,  ada yang dengan istilah maslahah dan mafsadat, atau hanya dengan istilah al-Hadf  dan al-Qashd.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya muncul ulama ushul yang secara ekplisit berani mengungkapkan dengan tegas istilah Maqashid Syari’ah sebagai sebuah disiflin ilmu mandiri, dengan kata lain bahwa Maqashid Syari’ah adalah disiflin ilmu mandiri, indefenden, yang terpisah dari ilmu ushul fiqh. Walau pada prakteknya dalam ilmu ushul fiqh tidal bisa dilepaskan dan atau tetap akan bersentuhan dengan unsur Maqashid Syari’ah. Ialah ibnu ‘Asyur (1296-1393 H/ 1789-1973 M)[36] dengan kitabnya “Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah”. Berikut salah satau deklarasi Ibnu ‘Asyur dalam kitabnya[37]:
Ibnu ‘Asyur ini berani mengatakan bahwa Maqashid Syari’ah adalah satu disiflin ilmu indefenden dengan pertimbangan logis bahwa ketika seluruh permasalah istidlal fiqhiyah besifat relatif tergantung bagaimana bentuk metoda isitnbat nya seingga dalam prakteknya akan membutuhkan pokok-pokok dari maksud syari’ah. Maka teori ini harus memiliki konseptual sendiri dimana seluruh praktek istinbath akan mengacu kepadanya. Sehingga, bagi ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa ilmu Maqashid Syari’ah merupakan salah satu pondasi qhat’i untuk memahami sebuah syari’ah.[38]
Ibnu ‘Asyur menmbagi pembahasan Maqashid pada tiga bagian: meneguhkan kebutuhan maqahasid bagi seorang yang menggeluti hukum, kajian maqashid ‘Ammah, dan maqashid khashah.[39] 
Di abad ke empat belas hijriyah ini, selain Ibnu ‘Asyur muncul juga ulama yang menguatkan teori maqashidnya sebagai sebuah disiflin ilmu mandiri. Seperti ‘Alal al-Fasi (1326-1394 H/ 1908-1974 M)[40], Dr. Yusuf al-‘Alam (1356-1408 H/ 1937-1988 M)[41], dan Dr. Muhammad Hasan Abu Yahya seorang guru besar Universitas King Saudi di Riyadh di fakultas Syari’ah.[42] Sampai saat ini pemikiran Ibnu ‘Asyur mengenai konsep Maqashid Syari’ah merupakan disiflin ilmu mandiri mulai ramai diperbincangkan.


[1] Muhammad Sa’ad ibn Ahmad ibn Mas’ud al-Yubi, Maqashid asy-Syar’iyah al-Islamiyah wa ‘Alaqatuha bil’Adillah asy-Syar’iyah, (Darul Hamzah, Riyadh, 1998) Hlm. 72-73.
[2] Ibid, hlm. 39.
[3] Al-Baqarah: 185.
[4] Al-Maidah: 6
[5] Al-Hajj: 87
[6] H.R. Bukhari, Shahih Bukhari, juz 1 no. 22. Hlm. 323. Dalam bab wudhu.
[7] Opcit, hlm. 41-42
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz 1 no. 50-54. Hlm. 490. Dalam bab Jama Qashar.
[9] Opcit, hlm. 44.
[10] Ibid.
[11]             Ar-Risalah sendiri disusun oleh Imam Asy-Syafi’i berdasarkan permintaan dari Abdurrahman bin Mahdi kepada Imam Asy-Syafi’i untuk menulis tentang pengertian Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma, Nasikh Mansukh dalam sebuah kitab tersendiri. Sehingga disusunlah kitab tersebut, yang berisikan tentang metodologi istinbath hukum syara  (Syekh Abdullah As-Sa’ad dalam pengantar kitab Irsyad Al-Fuhul, Cetakan Dar Al-Fadhilah). 
[12]             Epistemologi Ushul Fiqh, Chozin Nasuha Guru Besar pada Fakultas Syari’ah Ketua Konsentrasi Studi Al-Qur’an Pascasarjana UIN Bandung, dikutip dari situs www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Chozin%20Nasuha.doc. Akses 28 Desember 2012
[13] Umar Ibn Shalih Ibn ‘Umar, Maqashid as-Syari’ah ‘Inda Imam al-Izz ibn ‘Abdissalam, (Dar an-Nafa’is, 2003: Azdan), hlm. 112.
[14] Ibid,
[15] Abu Ishaq asy-Syairozi, at-Tabshiroh, ..hlm. 420.
Nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Fairuzi Aabadi  asy-Syairozi. Diantara guru beliau ialah: Abu at-Thayyib ath-Thabari Thahir ibn Abdullah ibn Umar, Abu al-Qasim al-Kurkhi Manshur ibn Umar ibn ‘Ali al-Baghdadi. Murid-murid beliau: Fakhrul Islam asy-Syasyi Muhammad ibn Ahmad Abu Bakar, Abu al-‘Abas al-Jurjaani. Beliau adalah pengarang kitab al-Muhadzab, at-Tabshiroh, dan al-Luma’.  (Syekh An-Nawawi, al-Majmu’ li an-Nawawi, ...hlm. 14 juz 1).
[16] Dr. Yusuf asy-Syabli dalam makalahnya berjudul “Maqashid at-Tasyri’ al-Islami di Islamic School Boscton, ww. Shubily.com.
[17] Nama asli Al-Juwaini ialah Abdul Malik ibn Abdullah ibn Yusuf  al-Juwaini, Abu al-Ma’ali, dengan nama penghormatan al-Haramain. 
[18] Umar Ibn Shalih Ibn ‘Umar, Maqashid as-Syari’ah ‘Inda Imam al-Izz,.. hlm. 113.
[19] Al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul Fiqh, ....hlm. 295. Juz 1.
[20] As-Sarkhasi nama salinya ialah Abu Bakar Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Sahl – dikenal dengan nama Syamsul A’imah as-Sarkhasi-.
[21] Nama Asli al-Ghazali ialah
[22] Al-Ghazali, al-Mustashfa,......hlm. 278-279. Juz 1.
[23] Abu al-Khatab benrama Makhfudz ibn Ahmad ibn Hasan al-Kalwadzani, Ia bermadzhab hanbali. Diantara gurunya ialah Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Khalaf ibn Ahmad Abu Ya’la al-Faraa.
[24] Nama Aslinya ialah Ahmad ibn ‘Ali ibn Burhan Abu Fath dari kalangan Hanbali, dan kemudia ia berpindah haluan kepada madzhab Syafi’i. Ia berguru kepada al-Ghazali, asy-Syasyi, Ilkiya al-Harasi
[25] Nama aslinya ialah Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Ahmad, Abu Bakar ‘Alaauddin as-Samarqand. Ia dari kalangan ulama Hanafi. Gurunya ialah Abu Mu’in Maimun al-Makhuli, dan Abu Yasar al-Bazdawi. Kitab ushulnya Mizanul Ushul fi Nataij al-‘Uqul.
[26] Ar-Razi adalah nama dari Muhammad ibn ‘Umar ibn Husain ibn ‘Ali at-Tamimi al-Bakriyi ath-Thabrastani ar-Razi, ia juga mendapat julukan Ibnul Khatib. Kitab ushul yang terkenal darinya ialah “al-Mahsul fi al-Ushul” (Mas’ud al-Yubi,Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, Darul Hamzah, 1998; Riyadh). Hlm. 54
[27] Ia termasuk ulama madzhab Hanbali, nama aslinya ialah Abdullah ibn Muhammad ibn Qudamah al-Jama’ily, al-Miqdasi, al-Damasyi. Ia dilahirkan di Palestin daerah Jama’il. Gurunya ialah Abdullah ad-Daqaq, Ibnu Bathi. Kitab usulnya ialah Raudhatu Nadzir wa Jannatul Manadzir fi Ushul Fiqh. 
[28] Nama asli al-Amidi adalah ‘Ali ibn Abi ‘Ali ibn Muhammad ibn Salim ats-Tsa’labi yang diberi gelar Saifuddin. Diantara kitab Ushulnya ialah “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”. (Mas’ud al-Yubi,Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, Darul Hamzah, 1998; Riyadh). Hlm. 55.
[29] Al-Izzu sebenarnya hanyalah gelar, sedangkan nama aslinya ialah ‘Abdul ‘Aziz ibn Abdissalam ibn Abi Qasim as-Salami, ia meneruskan ushul fiqhnya  al-Amidi. Diantara kitab karangannya yang terkenal ialah “al-Qawaid al-Kubra” yang kemudia sering disebut dengan kitab “Qawa’id al-Ahkam fi mashalih al-Anam”. (Mas’ud al-Yubi,Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, Darul Hamzah, 1998; Riyadh). Hlm. 55.
[30] Nama asli al-Qarafi ialah Ahmad ibn Idris ibn Abdurrahman ibn Abdullah ash-Shanhaji.
[31] Ibnu Taimiyah ialah Ahmad ibn Abdul Halim ibn Taimiyah. Kitab karangannya yang cukup terkenal ialah “Majmu’ al-Fatawi”.
[32] Nama aslinya ialah Muhammad ibn Abu Bakar ibn Ayub ibn S’ad ibn Jarir az-Zara’i. Ia diberi gelas Syasmsuddin, Abu Abdillah, dan Ibnu al-Qayim al-Jauziyah. Kitab ushul yang cukup populer juga darinya ialah “I’lamul Muwaqi’in”. (Mas’ud al-Yubi,Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, Darul Hamzah, 1998; Riyadh). Hlm. 63.
[33] Ath-Thufi adalah Sulaiman ibn Abdul Qawwi ibn Sa’id ath-Thufi ash-Sharshari. Sezaman dengan ibn Qayyim sebagai seorang Hambaliyah yang meneruskan pemikiran ibn Taimiyah. Karyanya ialah “Mi’razul Wushul ila ‘Ilmil Ushul”.
[34] Nama aslinya ialah Abu Ishāq Ibrahim Ibn Musa ibn Muhammad al Gharnatiy, sedangkan al-Syātibī diambil dari nama negeri asal keluarganya, Syatībah (Muhammad Abu al Ajfan, Min Atsar Fuqaha’ al Andalus: Fatawa al Imam asy Syathibi, (Tunis: Matba’ah Al Kawakib, 1985), hlm. 32
[35] Imam Syathibi, al-Muawafaqat fi Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt. Juz I, hlm. 5.
[36] Ibnu ‘Asyur ialah Muhammad at-Thahir ibn ‘Asyur yang nasabnya dari salah saltu kelauarga Andalus, Spanyol Muhammad ibn Muhammad.
[37] Ibnu ‘Asyur, Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah,...hlm. 8
[38] Isma’il al-Hasani, Nadzariyah al-Maqashid Inda Imam Muhammad at-Thahir ibn ‘Asyur, (The International Institute of Islamic Thought, 1995: Amerika). Hlm. 98.
[39] Dr. Abdul Aziz ibn Abdurahman ibn ‘Ali ibn Rabi’ah, ‘Ilmu Maqashid asy-Syari’, (Kerajaan Arab Saudi, 2002: Riyadh) Hlm. 73
[40] Nama aslinya ialah ‘Alal ibn Abdul Wahid ibn Abdissalam...ibn al-Majdzub al-Fasi. Kitab yang sangat membumi darinya ialah “Maqashid asy-Syari’ah wa Makarimuha”.
[41] Nama aslinya Yusuf Hamid al-‘Alam, orang Sudan yang meraih gelar doktor di Universitas al-Azhar. Kitab yang ia ciptakan ialah “al-Maqashid al-‘Aammah li asy-Syari’ah al-Islamiyah”, “an-Nidzam as-Siyasi wa al-Iqtishadi fi al-Islam”.
[42] Ia mengarang buku yang berjudul “Ahdaf at-Tasyri’ al-Islami”.

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

FENOMENA LINGUISTIK (ilmu Lughoh) DI BULAN RAMADHAN

Ada Apa Dengan Ramadhan;  Tak terasa ternyata kita sudah di sepuluh hari pertengahan bulan suci romadhon. Hmmmm,,, ingat ungkapan para ulama, “Sepuluh hari pertama bertabur rahmat , sepuluh hari pertengahan tempatnya maghfiroh (ampunan) Allah, sepuluh hari terakhir ‘itqun minannar (pembebasan dari murka Allah). Mumpung masih dalam wilayah ampunan, enaknya kita cari solusi mendapat ampunan yuukk! He..geje nya? STAR … Bukan hal yang asing kiranya di kalangan orang muslim atau bahkan non muslim, mengenal ibadah puasa Romadhon. Yah,,, sebuah kisah kecil mengenai fenomena romadhon yang sedang marak beredar. Mau tau! Ada syartnya lah, harus TAK TA LI (pake Otak, Mata, dan Celi)…hehe Episode satu : “Ahmad tak keliatan ikut teraweh Ron, kemana?”, “Oh iya kang, katanya Ahmad malam ini ikut pa Haji TARLING (Taraweh Keliling). Nah, sekarang teraweh nya giliran di Mesjid kampung sebelah”. “Pantesan atuh, tadi di mesjid tak ada yang jadi bilal”, ucap kang Galih sambil b

Kelahiran Nabi dan Solawat Abdul Muthalib

  Abdul Muthalib merupakan tokoh terhormat dan terkemuka di kalangan Suku Quraisyi juga sebagai khadimul ka’bah , pelayan ka’bah. Darinya terlahir sepuluh orang anak laki-laki; (1) Harits (2) Zubair (3) Hajl (4) Dliror (5) Muqawwam (6) Abu Lahab (7) Abbas (8) Hamzah (9) Abu Thalib dan (10) Abdullah. Abdullah seorang anak pilihan dan penyelamat umat atas nazar ayahnya menjadi lelaki primadona dambaan setiap wanita. Abdullah dinikahkan kepada seorang wanita paling menawan, bunga desa dari keturunan mulia, yakni Siti Aminah binti Wahb bin Abdi Manaf bin Zuhrah bin Kilab bin Murrah bin Ka’ab bin Lu’ay bin Ghalib bin Fihr. Aminah Binti Wahb bersanding dengan Abdullah melalui proses pernikahan yang sah dan beradab. Di Bulan Dzulhijah, tepat saat para jama’ah haji melaksanakan lempar batu wushtha ( jumrah ) ia terlihat lemas berada di kemah Abu Thalib. Di hari tanggal 11-12-13 itulah   ( ayyam tasyriq ) Aminah mengidam bayi muda Mulia nan suci, titipan ilahi Rabbi, yang kelak menjadi pa