Part 2
Menarik ternyata jika menelisik lebih jauh
kajian tentang maqashid syari’ah. Kemarin saya mencoba menaruhkan
perhatian ke-eksistenian maqashid syari’ah vis to vis fitrahmanusia
dengan judul “Antara Fitrah dan maqashid syari’ah”. Kali ini sayahendak
menelusuri sisi maqashid syari’ah dalam sebuah konsep keilmuan.
Untuk dewasa ini, maqashidSyari’ah
menjadi isu hangat dalam dunia akademik hukum islam, pasalnyatema ini
telah banyak diusung oleh para ulama hukum – khususnya di dunia
Timur-sebagai sebuah disiplin ilmu tersendiri sekaligus metodologi
berpikir dalamistinbath hukum. Namun, tidak bisa dilepaskan begitu saja
bahwa Maqashid Syari’ah sungguh pun telah menempuh masa yang
cukup lama untuk diakuisecara ilmiah- logis, sistematis, dan dapat
dipertanggung jawabkan- sebagaisebuah disiplin ilmu tersendiri.
Apabila
kita cobamenengok sebentar kebelakang, sebanarnya dalam lingkup
aliran-aliran madzhab fiqh telah banyak yang menyentuh nilai-nilai maqashid syari’ah, walaupun hanya sekedar sebuah selintiran-selintiran secara implisit atau hanya dalambentuk aplikatif. Sehingga maqashid syari’ah hanya sebuah formulasi “spirit realitas tanpa nama”.
Akan
tetapi, ketikadipertanyakan apakah maqashid ini sudah menjadi sebuah
disiplin yang independenatau tidak?. Hal ini mau tidak mau harus
bersentuhan dengan area filosofisilmiah. Berkaitan dengan ini, Prof. A.
Chozin Nasuha misalnya, memperteguh akan adanya sebuah karakteristik
spesifik dalam rangka menilai sesuatu sebagai sebuah disiplin ilmu dan
atau juga sebuah metodologi berpikir.
Bagaiamana ia
memberikan asumsi-asumsi matang demi mengukuhkan ke-eksistensian Ushul
fiqh,yang baginya mesti mempunyai ciri spesifik yang tersusun mengenai
apa (ontology), bagaimana (epistemology) dan untuk apa (aksiologi).
Ketika landasan ini saling berkaitan, maka ontology dari ushul-fiqh
terkait dengan epistemologinya, epistemology ushul-fiqh terkait dengan
aksiologinya, dan begitulah seterusnya[1].
Ketiga unsur yang diasumsikan di atas (disebut sebagai filsafat ilmu)
secara substansi sepadan dengan prinsip-prinsip keilmuan yang
ditawarkan oleh para intelektual Islam terdahulu. Mereka menekankan
sepuluh pilar (mabadi ‘asyarah) yang harus dimiliki dalam sebuah disiplin ilmu. The principle of knowledge istilah lain dari pilar utama tersebut sebagai berikut:
ان مبادي كل فن عشرة * الحد والموضوع والثمرة
وفضله ونسبة والواضع * والاسم والاستمداد حكم الشارع
مسائل والبعض بالبعض اكتفى * ومن درى الجميع حاز الشرفا
1.
Pengertian, cakupan, dan batasan; 2. Sasaran kajianatau subjek matter;
3. Kegunaan dan manfaat; 4. Keutamaan dan keunggulan; 5.Hubungan dengan
ilmu lain; 6. Penemu dan pengembangnya; 7. Nama dan identitas;8. Sumber
pengambilan atau sandaran; 9. Status hukum mempelajarinya; 10.Wilayah
permasalahan;
Dalam pembukaan acara Stadium General
program PendidikanKader Ulama (PKU) 2012-2013, di Ma’had ‘Ali
al-Hikamus Salafiyah Babakan Ciwaringin Cirebon Prof. Chozin
menyampaikan sebuah makalah dengan judul “Filsafat Ilmu Kitab Kuning”, menambahkan
dua unusr lain diluar sepuluh pilar diatas demi tercipatanya sebuah
disiplin ilmu yang paripurna, yakni; 11. Kelengkapan unsur informasi,
teori,hipotesa, aksioma, sampai konsep; 12. Metodologi.
Dari penjelasan di atas, maqashidsyari’ah tidak akan mungkin terlepas dari konseptual tersebut, ketika banyak orang mempertanyakan apakah maqashid syari’ah
ini merupakn sebuahdisiplin ilmu sendiri ataukah hanya sebagian metode
istinbath hukum dalam ilmuushul fiqh. Sehingga suatu kemestian yang
diperlukan -demi menampakan jawaban atas pertanyaan tersebut- mengkaji
dua aspek berikut; aspek historis dan aspek filosofis. Aspek historis dimaksudkan melacak posisi maqashid
disikapi oleh para ulama dan atau ilmuan syari’ah terdahulu sampai
terbentuknya sebagai sebuah kajian yang spesifik. Sedangkan aspek filosofis menyodorkan argumen-argumen keilmuan yang autentik yang dapat membuktikan bahwa maqhasid ini dapat dikategorikan sebagai sebuah disiplin ilmu yang sesuai dengan kerangka konvensi sebuah ilmu.
Pertama, Dengan pendekatan
historis yang sedikitnya dapat menjadi pertimbangan dalam memposisikan status
ilmu Maqashid.
Sebenarnya, ulama maqashid
dari beberapa madzhab sudah dimulai dari dulu dan bahkan mengakar dalam
perkembangan selanjutnya. Ini diasumsikan bahwa dari ulama terdahulu setiap
madzhab pun telah menaruh maqashid sebagai unsur penting penetapan hukum
syari’at. Dapat dilihat berikut ulama-ulama yang menaruh perhatian dan
pengusung dasar dan benih Maqashid As-Syari’ah, yang dikelompokan
berdasarkan aliran madzhab fiqh:
Asy-Syafi’i; imam Haramain al-Juwaini,
al-Ghazali, ar-Razi dan muridnya al-Amidi, al-‘Izzu ibn Abdissalam dan muridnya
al-Qarafi. Dari Hanbali seperti Ibnu Taimiyah yang diikuti
muridnya Ibnu al-Qayyim al-Jauziah dan ath-Thufi. Dari Maliki ada imam
asy-Syathibi dan lain-lainnya.
Kemudian bagaimana
para ulama tersebut mengeksplorasikan Maqashid dalam
pemikiran-pemikirannya. Tentunya ini tidak bisa dijelaskan secara spekulasi dan
serampangan. Mau tidak mau meski dilacak terlebih dahulu periode perkembangan Maqashid.
Ada beberapa periode
perekembangan Maqashid as-Syari’ah, dimana tidak kurang dari tiga fase.
Periodisasi ini dimulai dari masa sahabat yang merupakan embrio dan benih-benih
terbentuknya Maqadshid sampai masa munculnya al-Juwaini yang dikenal
dengan sebutan imam Haramain. Disini maqashid asy-Syar’iyah hanya
sebagai “realitas tanpa nama”. Kemudian dilanjutkan pada fase dimana maqashid
sudah mulai diperbincangkan dan dijadikan salah satu bab pembahasan terpisah
dari bahasan lain. Fase ini mungkin dimulai oleh al-Juwaini.
Fase terakhir
menampilkan maqashid sebagai sebuah perspektif tersendiri sebagai sebuah
kajian tersendiri secara keilmuan. Ini digambarkan sebagai periode pengusungnya
yakni: al-‘Izzu ibn Abdissalam, asy-Syathibi, yang selanjutnya diikuti oleh Ibnu
‘Atsur dan ‘Alal al-Fasi[1].
Ketiga fase
perkembangan Maqashid Syari’ah di atas kiranya dapat dirumuskan dan
dideskripsikan sebagai berikut:
a.
Fase Pra-Ushuliyun
Fase ini disebut
dengan fase pra-Ushuliyun sebab dalam fase ini Maqashid Syari’ah
hanyalah sebuah nilai-nilai dari wahyu Allah (al-Qur’an) dan sabda rasul
al-Hadits serta sebuah aplikatif yang dilakukan oleh para sahabat Nabi dalam
menetapkan hukum. Namun, secara konseptual sudah merupakan embrio dari sebuah
praktek Maqashid Syari’ah. Istilah pra-Ushuliyun diasumsikan, bahwa
secara konkrit dan kebakuan keilmuan di masa ini ilmu Ushul Fiqh pun belum
muncul, hanya saja tidak bisa dinafikan di masa ini pula benih-benih ushul fiqh
pun telah terlihat. [2]
Dapat dilihat misalnya kaidah-kaidah tentang
Maqashid Syari’ah yang mendapat legitimasi dari nash:
Allah menghendaki
kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu[3]
Allah tidak hendak
menyulitkan kamu, tetapi dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.[4]
Dia (Allah)
sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.[5]
Dalam al-Sunnah
misalnya nabi pernah juga mengatakan nilai-nilai Maqashid Syari’ah, seperti
berikut:
Maka
sungguh kalian diutus untuk mempermudah bukan menyulitkan.[6]
Selain sabda-sabda
ini banyak sekali ungkapan-ungkapan nabi yang mengandung unsur maqashid.[7]
Begitu
juga para sahabat Nabi banyak melakukan tindakan-tindakan yang mengandung unsur
Maqashid Syari’ah. Terbukti apa yang dikatakan oleh Ibnu ‘Abas saat
ditanya tentang jama’ shalat bukan dalam keadaan di perjalanan: “Rasul
tidak menghendaki adanya kesulitan bagi umatnya”[8]. Juga bagaimana para
sahabat mengumpulkan al-Qur’an dengan alasan khawatir adanya penyia-nyiaan
serta semata-mata menjaga agama (hifdzu din).[9]
Selain
itu, pada masa selanjutnya dapat dilihat juga bahwa sebelum muncul sebuah
kerangka metodologi istinbath hukum yang sistematis, yakni Ushul fiqh, para
ulama dari tabi’in sampai munculnya ilmu ini telah mempraktekan metodologi
qiyas. Dalam metode qiyas ini justru menampilkan sebuah keputusan berdasarkan
pertimbangan illat, dan illat ini pasti akan memperbincangkan Maqashid
Syari’ah.[10]
Jadi, dapat
disimpulkan bahwa Maqashid Syari’ah pada fase ini merupakan realitas
tanpa nama. Hanya Ruh-ruh Maqashid sungguh telah
terrealisasikan dalam menyelesaikan persoalan.
b.
Fase Ushuliyun
Dalam fase ini Ushul
fiqh telah menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri. Imam asy-Syafi’i selaku
penyusun kitab ushul fiqh pertama dengan nama Ar-Risalah[11]. Setelah asy-Syafi’i
menyusun sebuah kitab tentang ushul fiqh secara sistematis, maka mulailah
bertebaran kreativitas para ulama setalahnya membangun dan mengembangkan kajian
ushul fiqh. Pada masa inilah ushul fiqh mendapat perhatian besar dalam wliayah
hukum Islam.
Ushul
fiqh sebagai produk pemikiran agama
mengandung pengertian bahwa ia juga merupakan ilmu metodologi istinbath ahkam yang secara ontologis ilmu
ini dapat dikelompokan menjadi empat point yaitu (1) nilai-nilai aturan hukum (2) dasar-dasar
aturan hukum (al-adillah al-syar’iah) (3) cara atau metoda menganalogikan
dalil menjadi hukum, dan
(4) ketentuan ijtihad, taqlid, dialektika kontradiktif,
dan tarjih[12].
Sebagai
sebuah ilmu sekaligus menjadi metodologi istinbath hukum, Ushul fiqh ternyata
banyak menaruh perhatian atas Maqashid Syari’ah dalam metodenya, seperti dalam bab qiyas,
bab mashalih mursalah, bab at-Ta’arudh dan at-Ta’adul
di dalamnya selalu membicarakan nilai-nilai maqashid[13].
Bagaimana tidak,
dalam kajiannya pula para ushuliyun selalu memposisikan Maqashid Syari’ah sebagai
salah satu tolok ukur dalam merumuskan batasan dilalah alfadz atau makna
kata-kata. Ada tiga pijakan ushuliyun tentang dilalah alfadz, yakni:
1.
Teori tentang makna dasar kata
2.
Kedinamisan Perkembangan makna sebuah
lafadz serta makna konteks ‘urf penggunaan kata.
3.
Memlihara realisasi tujuan-tujuan syari’ah
dengan membenturkan kepada Maqashid Syari’ah.[14]
Kajian Ushul yang
bersentuhan dengan kaidah dan atau nilai-nilai Maqashid Syari’ah pada
fase Ushuliyun ini dapat dibagi menjadi dua motivasi; Maqashid dijadikan
sebagai sebuah spirit penetapan hukum dan sebagai metodologi dalam Ushul
fiqh.
Sehingga dalam
prakteknya para ushuliyun dapat dibagi atas tiga kelompok dilihat dari porsi Maqashid
Syari’ah dalam kitabnya, yaitu:
a. Maqashid
Syari’ah
hanya sebuah spirit dengan ungkapan eksplisit
Banyak sekali para
ushuliyun yang meyinggung nilai-nilai Maqashid Syari’ah dalam kitab
Ushulnya. Dapat dikatakan ini dari mulai terbentuknya ushul fiqh sebagai sebuah
disiflin ilmu mandiri secara sistematis, yakni pada masa imam asy-Syafi’i
dengan ar-Risalahnya. Juga, masanya Abu Ishaq asy-Syairozi (393-476 H) yang
mengarang kitab “at-Tabshirah”, walaupun secara eksplisit dalam kitab
ini tidak ditemukan indikator Maqashid. Akan tetapi, dalam kitab ini ada
penyebutan tentang konsep maslahat dalam bab qiyas, yakni suatu maslahat
tidak bisa diidentifikasi melalui jalan qiyas.[15]
Asumsi dari adanya
kelompok ini dapat diuraikan dalam dua hal; pertama, danya keterkaitan
erat ilmu Ushul fiqh dengan masalah qiyas. Sebab salah satu rukun qiyas
adalah illat hukum. Kedua, dalam bab adillah mukhtalafah
konsep masalih mursalah secara subsansial akan membicarakan maqashid syari’ah,
yakni kemaslahatan syar’iyah[16].
b. Maqashid
Syari’ah
sebagai tema khusus dalam Ushul fiqh
Pada masa berikutnya
ada Imam Haramain al-Juwaini (419-478 H)[17], dalam kitabnya “al-Burhan
fi Ushul Fiqh”ia banyak menggunakan istilah qashdu (maksud) dan
ghardh (tujuan). Juga, ia melirik juga sisi keurgenan Maqashid Syari’ah.[18] Dapat diperhatikan salah satu petikan dari
tulsannya dalam kitab tersebut; “siapa saja yang tidak pintar-pintar
memahami aspek maqashid dalam setiap bentuk perintah dan larangan berarti ia
belum mampu mengidentifikasi penetapan syari’ah, sebab kaidah maqashid
merupakan rahsia di balik bentuk perintah dan larangan tersebut”[19].
Dapat dikatakan
bahwa al-Juwaini inilah yang pertama kali menaruh perhatian Maqashid
Syari’ah dalam kajian ushul fiqh. Sehingga, pada masa selanjutnya
bertebaran pula para ulama ushul yang membahas Maqashid Syari’ah dalam
kitabnya. Muncul ulama dari kalangan madzhab Hanafi imam as-Sarkhasi (483 H)[20] misalnya, yang selalu menyangkutkan masalah-masalah furu’
dalam kajian ushul fiqh dalam kitab “Ushul as-Sarkhasi” dengan maksud-maksud
setiap masalahnya.
Selain itu,
tokoh-tokoh ulama Ushul lain seperti al-Ghazali
(...H),[21] yang mengembangkan
pemikiran gurunya al-Juwaini; yakni memperjelas klasifikasi maqashid
pada lima penjagaan, penjagaan agama, jiwa, akal, keturunan, dan harta, kemudian menyusun
secara sistematis berdasarkan tiga tingkatan: Dharuriyah, Hajiyah, dan
Tahsiniyah.[22]
Juga, Abu al-Khatab
(432-510 H)[23], Ibnu al-Burhan
(479-518 H)[24], Abu Bakar Muhammad
as-Samarqandi (575 H)[25], Fakhruddin ar-Razi
(544-606 H)[26], Ibnu Qudamah (541-
620 H)[27], Saifuddin al-Amidi
(631 H)[28], dan Ibnu Hajib.
c. Kitab
Ushul fiqh Maqashid Syari’ah
Apabila Ulama-ulama
sebelumnya memnciptakan kitab-kitab ushul fiqh dengan memerankan unsur maqashid
dalam setiap metode istinbatnya, maka masa selanjutnya muncullah ulama ushul
fiqh yang lebih memfokuskan kajian maqashid dalam ushul fiqh sebagai sebuah kitabnya
yang lebih khusus. Diantanya dan al-Izzu ibn Abdissalam (577-660 H)[29] dan muridnya al-Qarafi (684 H)[30] dengan kitabnya “Syarh
al-Mahsul; an-Nafais” dan “tanqih al-Fushul”, “al-Furuq”, dan
muncul juga Ibn Taimiyah ()[31] serta dua muridnya Ibnu al-Qayyim (751 H)[32] dan ath-Thufi ()[33].
Terakhir muncul juga
ulama ushul fiqh maqashid yang penomenal, yakni Iman asy-Syatibi (720-790 H)[34] dengan
“al-Muwafaqat”-nya. Ia membawa konsep maqashid dengan model yang berbeda dengan
para pendahulunya. Baginya, konsep maqashid yang telah ada selama ini terlalu
ringan sehingga perlu direkontruksi. Dari sini ia sangat penomenal dengan
konsep baru tentang maqashid-nya. Ia membagi maqasid atas dua bagian: Maqashid
asy-Syaari’ dan Maqashid al-Mukallafin.
Untuk yang pertama
ini ia bagi lahi kepada empat bagian: 1. Maksud Syaari’ dalam rangka pembuatan
suatu syari’at, 2. Maksud Syaari’ sebagai sebuah pemahaman, 3. Maksud Syaari’
bagi pembebanan, 4. Maksud Syaari’dalam rangka memasukan mukallaf dibawah
naungan hukum Syari’ah[35].
Karena begitu
menggemparkannya konsep maqashid yang diusung oleh asy-Syathibi ini, para ulama
setelahnya selalu menyebutnya sebagai bapak maqashid. Walaupun sampai akhir
hayatnya maqashid belum diproklamirkan sebagi sebuah disiflin ilmu. ia masih
menginduk pada ilmu Ushul fiqh.
c.
Fase Tadwin
Dari sekian banyak
ulama ushul pada fase di atas, Maqashid Syari’ah terlihat hanya dalam
sebuah nilai-nilai atau spiritnya saja. Dalam pengertian, pengungkapan tentang
teori dan konsep Maqashid Syari’ah dalam kitab ushul fiqh hanya berupapelengkap
dan atau penunjang metodologi, ada yang
dengan istilah maslahah dan mafsadat, atau hanya dengan istilah al-Hadf dan al-Qashd.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya
muncul ulama ushul yang secara ekplisit berani mengungkapkan dengan tegas
istilah Maqashid Syari’ah sebagai sebuah disiflin ilmu mandiri, dengan
kata lain bahwa Maqashid Syari’ah adalah disiflin ilmu mandiri,
indefenden, yang terpisah dari ilmu ushul fiqh. Walau pada prakteknya dalam
ilmu ushul fiqh tidal bisa dilepaskan dan atau tetap akan bersentuhan dengan
unsur Maqashid Syari’ah. Ialah ibnu ‘Asyur (1296-1393 H/ 1789-1973 M)[36] dengan kitabnya “Maqashid
asy-Syari’ah al-Islamiyah”. Berikut salah satau deklarasi Ibnu ‘Asyur dalam
kitabnya[37]:
Ibnu ‘Asyur ini
berani mengatakan bahwa Maqashid Syari’ah adalah satu disiflin ilmu
indefenden dengan pertimbangan logis bahwa ketika seluruh permasalah istidlal
fiqhiyah besifat relatif tergantung bagaimana bentuk metoda isitnbat
nya seingga dalam prakteknya akan membutuhkan pokok-pokok dari maksud syari’ah.
Maka teori ini harus memiliki konseptual sendiri dimana seluruh praktek
istinbath akan mengacu kepadanya. Sehingga, bagi ibnu ‘Asyur mengatakan bahwa
ilmu Maqashid Syari’ah merupakan salah satu pondasi qhat’i untuk
memahami sebuah syari’ah.[38]
Ibnu ‘Asyur menmbagi
pembahasan Maqashid pada tiga bagian: meneguhkan kebutuhan maqahasid bagi
seorang yang menggeluti hukum, kajian maqashid ‘Ammah, dan maqashid khashah.[39]
Di abad ke empat belas hijriyah ini, selain Ibnu
‘Asyur muncul juga ulama yang menguatkan teori maqashidnya sebagai sebuah
disiflin ilmu mandiri. Seperti ‘Alal al-Fasi (1326-1394 H/ 1908-1974 M)[40], Dr. Yusuf al-‘Alam (1356-1408 H/ 1937-1988 M)[41], dan Dr. Muhammad Hasan Abu Yahya seorang guru besar Universitas King
Saudi di Riyadh di fakultas Syari’ah.[42] Sampai saat ini pemikiran Ibnu ‘Asyur mengenai konsep Maqashid Syari’ah
merupakan disiflin ilmu mandiri mulai ramai diperbincangkan.
[1] Muhammad Sa’ad ibn Ahmad ibn Mas’ud
al-Yubi, Maqashid asy-Syar’iyah al-Islamiyah wa ‘Alaqatuha bil’Adillah asy-Syar’iyah,
(Darul Hamzah, Riyadh, 1998) Hlm. 72-73.
[2] Ibid, hlm. 39.
[3] Al-Baqarah: 185.
[4] Al-Maidah: 6
[5] Al-Hajj: 87
[6] H.R. Bukhari, Shahih Bukhari,
juz 1 no. 22. Hlm. 323. Dalam bab wudhu.
[7] Opcit, hlm. 41-42
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim,
Juz 1 no. 50-54. Hlm. 490. Dalam bab Jama Qashar.
[9] Opcit, hlm. 44.
[10] Ibid.
[11] Ar-Risalah
sendiri disusun oleh Imam Asy-Syafi’i berdasarkan permintaan dari Abdurrahman
bin Mahdi kepada Imam Asy-Syafi’i untuk menulis tentang pengertian Al-Qur’an,
As-Sunnah, Ijma, Nasikh Mansukh dalam sebuah kitab tersendiri. Sehingga
disusunlah kitab tersebut, yang berisikan tentang metodologi istinbath hukum
syara (Syekh Abdullah As-Sa’ad dalam pengantar kitab Irsyad Al-Fuhul,
Cetakan Dar Al-Fadhilah).
[12] Epistemologi Ushul Fiqh, Chozin Nasuha Guru
Besar pada Fakultas Syari’ah Ketua Konsentrasi Studi Al-Qur’an Pascasarjana UIN Bandung, dikutip dari situs www.ditpertais.net/annualconference/ancon06/makalah/Makalah%20Chozin%20Nasuha.doc.
Akses 28 Desember 2012
[13] Umar Ibn Shalih Ibn ‘Umar, Maqashid
as-Syari’ah ‘Inda Imam al-Izz ibn ‘Abdissalam, (Dar an-Nafa’is, 2003:
Azdan), hlm. 112.
[14] Ibid,
[15] Abu Ishaq asy-Syairozi, at-Tabshiroh,
..hlm. 420.
Nama
lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim ibn ‘Ali ibn Yusuf al-Fairuzi Aabadi asy-Syairozi. Diantara guru beliau ialah: Abu
at-Thayyib ath-Thabari Thahir ibn Abdullah ibn Umar, Abu al-Qasim al-Kurkhi
Manshur ibn Umar ibn ‘Ali al-Baghdadi. Murid-murid beliau: Fakhrul Islam
asy-Syasyi Muhammad ibn Ahmad Abu Bakar, Abu al-‘Abas al-Jurjaani. Beliau
adalah pengarang kitab al-Muhadzab, at-Tabshiroh, dan al-Luma’. (Syekh An-Nawawi, al-Majmu’ li an-Nawawi,
...hlm. 14 juz 1).
[16] Dr. Yusuf asy-Syabli dalam
makalahnya berjudul “Maqashid at-Tasyri’ al-Islami” di Islamic
School Boscton, ww. Shubily.com.
[17] Nama asli Al-Juwaini ialah Abdul
Malik ibn Abdullah ibn Yusuf al-Juwaini,
Abu al-Ma’ali, dengan nama penghormatan al-Haramain.
[18] Umar Ibn Shalih Ibn ‘Umar, Maqashid
as-Syari’ah ‘Inda Imam al-Izz,.. hlm. 113.
[19] Al-Juwaini, al-Burhan fi Ushul
Fiqh, ....hlm. 295. Juz 1.
[20] As-Sarkhasi nama salinya ialah Abu
Bakar Muhammad ibn Ahmad ibn Abi Sahl – dikenal dengan nama Syamsul A’imah as-Sarkhasi-.
[21] Nama Asli al-Ghazali ialah
[22] Al-Ghazali, al-Mustashfa,......hlm.
278-279. Juz 1.
[23] Abu al-Khatab benrama Makhfudz ibn
Ahmad ibn Hasan al-Kalwadzani, Ia bermadzhab hanbali. Diantara gurunya ialah
Muhammad ibn Husain ibn Muhammad ibn Khalaf ibn Ahmad Abu Ya’la al-Faraa.
[24] Nama Aslinya ialah Ahmad ibn ‘Ali
ibn Burhan Abu Fath dari kalangan Hanbali, dan kemudia ia berpindah haluan
kepada madzhab Syafi’i. Ia berguru kepada al-Ghazali, asy-Syasyi, Ilkiya
al-Harasi
[25] Nama aslinya ialah Muhammad ibn
Ahmad ibn Abi Ahmad, Abu Bakar ‘Alaauddin as-Samarqand. Ia dari kalangan ulama
Hanafi. Gurunya ialah Abu Mu’in Maimun al-Makhuli, dan Abu Yasar al-Bazdawi.
Kitab ushulnya Mizanul Ushul fi Nataij al-‘Uqul.
[26] Ar-Razi adalah nama dari Muhammad
ibn ‘Umar ibn Husain ibn ‘Ali at-Tamimi al-Bakriyi ath-Thabrastani ar-Razi, ia
juga mendapat julukan Ibnul Khatib. Kitab ushul yang terkenal darinya ialah “al-Mahsul
fi al-Ushul” (Mas’ud al-Yubi,Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa
‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, Darul Hamzah, 1998; Riyadh). Hlm. 54
[27] Ia termasuk ulama madzhab Hanbali,
nama aslinya ialah Abdullah ibn Muhammad ibn Qudamah al-Jama’ily, al-Miqdasi,
al-Damasyi. Ia dilahirkan di Palestin daerah Jama’il. Gurunya ialah Abdullah
ad-Daqaq, Ibnu Bathi. Kitab usulnya ialah Raudhatu Nadzir wa Jannatul
Manadzir fi Ushul Fiqh.
[28] Nama asli al-Amidi adalah ‘Ali ibn Abi
‘Ali ibn Muhammad ibn Salim ats-Tsa’labi yang diberi gelar Saifuddin. Diantara
kitab Ushulnya ialah “al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam”. (Mas’ud al-Yubi,Maqashid
asy-Syari’ah al-Islamiyah wa ‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, Darul
Hamzah, 1998; Riyadh). Hlm. 55.
[29] Al-Izzu sebenarnya hanyalah gelar,
sedangkan nama aslinya ialah ‘Abdul ‘Aziz ibn Abdissalam ibn Abi Qasim
as-Salami, ia meneruskan ushul fiqhnya
al-Amidi. Diantara kitab karangannya yang terkenal ialah “al-Qawaid
al-Kubra” yang kemudia sering disebut dengan kitab “Qawa’id al-Ahkam fi
mashalih al-Anam”. (Mas’ud al-Yubi,Maqashid asy-Syari’ah al-Islamiyah wa
‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, Darul Hamzah, 1998; Riyadh). Hlm.
55.
[30] Nama asli al-Qarafi ialah Ahmad ibn
Idris ibn Abdurrahman ibn Abdullah ash-Shanhaji.
[31] Ibnu Taimiyah ialah Ahmad ibn Abdul
Halim ibn Taimiyah. Kitab karangannya yang cukup terkenal ialah “Majmu’
al-Fatawi”.
[32] Nama aslinya ialah Muhammad ibn Abu
Bakar ibn Ayub ibn S’ad ibn Jarir az-Zara’i. Ia diberi gelas Syasmsuddin, Abu
Abdillah, dan Ibnu al-Qayim al-Jauziyah. Kitab ushul yang cukup populer juga
darinya ialah “I’lamul Muwaqi’in”. (Mas’ud al-Yubi,Maqashid asy-Syari’ah
al-Islamiyah wa ‘Alaaqtuha bil ‘Adillah asy-Syar’iyah, Darul Hamzah, 1998;
Riyadh). Hlm. 63.
[33] Ath-Thufi adalah Sulaiman ibn Abdul
Qawwi ibn Sa’id ath-Thufi ash-Sharshari. Sezaman dengan ibn Qayyim sebagai
seorang Hambaliyah yang meneruskan pemikiran ibn Taimiyah. Karyanya ialah “Mi’razul
Wushul ila ‘Ilmil Ushul”.
[34] Nama aslinya ialah Abu Ishāq
Ibrahim Ibn Musa ibn Muhammad al Gharnatiy, sedangkan al-Syātibī diambil dari
nama negeri asal keluarganya, Syatībah (Muhammad Abu al Ajfan, Min Atsar
Fuqaha’ al Andalus: Fatawa al Imam asy Syathibi, (Tunis: Matba’ah Al
Kawakib, 1985), hlm. 32
[35] Imam Syathibi, al-Muawafaqat fi
Ushul al-Syari’ah, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt. Juz I, hlm. 5.
[36] Ibnu ‘Asyur ialah Muhammad
at-Thahir ibn ‘Asyur yang nasabnya dari salah saltu kelauarga Andalus, Spanyol
Muhammad ibn Muhammad.
[37] Ibnu ‘Asyur, Maqashid
asy-Syari’ah al-Islamiyah,...hlm. 8
[38] Isma’il al-Hasani, Nadzariyah
al-Maqashid Inda Imam Muhammad at-Thahir ibn ‘Asyur, (The International
Institute of Islamic Thought, 1995: Amerika). Hlm. 98.
[39] Dr. Abdul Aziz ibn Abdurahman ibn
‘Ali ibn Rabi’ah, ‘Ilmu Maqashid asy-Syari’, (Kerajaan Arab Saudi, 2002:
Riyadh) Hlm. 73
[40] Nama aslinya ialah ‘Alal ibn Abdul
Wahid ibn Abdissalam...ibn al-Majdzub al-Fasi. Kitab yang sangat membumi darinya
ialah “Maqashid asy-Syari’ah wa Makarimuha”.
[41] Nama aslinya Yusuf Hamid al-‘Alam,
orang Sudan yang meraih gelar doktor di Universitas al-Azhar. Kitab yang ia
ciptakan ialah “al-Maqashid al-‘Aammah li asy-Syari’ah al-Islamiyah”, “an-Nidzam
as-Siyasi wa al-Iqtishadi fi al-Islam”.
[42] Ia mengarang buku yang berjudul
“Ahdaf at-Tasyri’ al-Islami”.
bagus kang
BalasHapusterimaksuh... semoga bermanfaat
Hapus