Sehabis melaksanakansalat Jum'at, tepat di kedua mata saya
tampak dua orang anak yang sedang asyikbermain bersama. Anak yang
pertama berumur sekitar satu atau satu setengahtahunan, sedangkan anak
yang satu lagi berumur sekitar 3-4 tahunan. Kelihatan anakyang paling
kecil sangat agresif dan agak sedikit lebih motah (b. Sunda: tidakbisa
diam dan tenang jika bermain). Terbukti saat mereka tiba pada
masanyarehat dan santai sejenak dalm permainan, si adik kecil tersebut
malahmodar-mandir dengan sedikit lari kecil dihadapan temannya itu.
Bahkan sewaktu-waktuia mencoba menggoda temannya yang terlihat acuh atas
tingkahnya. Mungkin iaberharap ada sedikit respons dari stimulus yang
ia lakukan.
Beberapa saat kemudian,si kecil itu mendekati sepeda yang tengah bersandar di dinding rumah dilokasitersebut. Ternyata ia hendak mengambil sesuatu yang ada dalam keranjang sepeda-entah itu boneka, bola, atau apa-. Sebab postur tubuhnya yang masing mungil,tangannya pun tak mampu menggapai keranjang tersebut. Tangannya hanya samapipada ujung-ujung keranjang saja. Hampir tiga kali ia ayunkan tangannya demimendapatkan apa yang ada dalam keranjang. Namun, usahanya hanya menghasilkanposisi sepeda yang mendoyong dan bergerak jatuh ke arahnya.
Temannya hanya sedang santai,dan asyik duduk terkejut dan spontan ia angkatkan badanya menahan sepeda yanghampir menimpa teman kecilnya. Akhirnya, si kecil pun terselamatkan. Dan sepedajuga disimpan tergeletak.
Jika bagi sebagian orang yang melihat kejadian ini atau hanya mendapatkan informasi lewat bacaan yang ditulis ini menganggap suatu yang biasa-biasa saja. Bagi saya justru kejadian ini sangat berharga dan begitu mengetuk pemahaman saya tentang hakikat manusia.
Andai kata kejadian ini terjadi pada orang dewasa, mungkin hal tersebut tak akan menjadi pembuka inspirasi. Akan tetapi hal tersebut justru terjadi pada anak-anak yang umurnyadi bawah tingkat ideng (b. Sunda: belum bisa berpikir memilah mana yangharus dan tidak untuk dilakukan).
Saya sikapi bahwa hakikat manusia memiliki dorongan memunculkan, menciptakan dan menuju kemaslahatan, danmenghindari sesuatu yang berbahaya. Dalam diri manusia tertanam unsur motivasi melakukan kebaikan, membantu, menolong, atas sesamanya dan bahkan bagi makhlukyang lain. Bagaimana seorang anak kecil yang masih berumur sekitar tiga sampaiempat tahun melakukan tindakan pretentif dan menolong teman kecilnya tertimpa bahaya tanpa sedikit pun ada intruksi ekstrn- orang tua atau orang yang adadi sekitarnya saat itu-. Justru intruksi yang ia dapat merupakan faktor intern dirinya. Ia spontan dapat melakukan tindakan maslahat tersebut dengan sukses.
Dari sini dapat sedikit disimpulkan ternyata unsur kebaikan, kemaslahtan, menolong, membantu sertamenghindar dari aspek-aspek bahaya, merugikan, merusak adalah salah satu fitrahmanusia yang patut disadari.
Dalam Studi Islam dalamRagam Dimensi dan Pendekatan, Prof. Dr. Muhamin dan kawan-kawannya (2012: 2)pernah menyinggung hal-hal demikian. Menurutnya manusia diciptakan bersaamaandengan fitrahnya, yakni kondisi sekaligus potensi bawaan yang berasal dari danditetapkan dalam proses penciptaan manusia atau citra awal yang ada dalam dirimanusia yang dibawa sejak lahir, potensi itu ada dan tercipta bersama dengan prosespenciptaan manusia. Dalam duni psikologi potensi fitrah ini sering diistilahkanherditas. Ini sepadan dengan apa yang pernah diungkapkan al-Asfihani dan Ibn Atsur.
Jika menurut pengarang buku di atas mengatakan bahwa fitrah manusia itu begitu sangat banyak mencakupseluruh karakter dan dimensi yang ada dalam diri manusia, akan tetapi menurutnya ada fitrah yang urgen, yakni (1). Fitrah beragama, (2). Fitrah berakal, (3). Fitrahbelajar, (4). Fitrah sosial, (5). Fitrah susila, (6). Fitrah berekonomi, (7). Fitrahberpolitik, (8). Fitrah seksual (Muhaimin, dkk, 2012: 46).
Bagi saya, ada unsur fundamental yang menjadi fitrah manusia sekaligus mencakup keseluruhanfitrah-fitrah yang tak terhitung jumlahnya, yakni fitrah kemaslahatan; dalamarti menarik sebuah maslahat dan meniadakan kemafsadatan. Demikian halnyafitrah ini serasi dengan titah-titah Tuhan sebagai penciptanya. Bagaimana Tuhanmampu menciptakan manusia bersamaan dengan nilai-nilai kemaslahatan merupakansimbol bahwa Ia mengerti akan fitrah yang dimiliki manusia.
Apabila ditarik dalamranah kajian Ushul fiqh, konsep semacam ini senada dengan teori metodologimaqashid Syari’ah. Kang Wawan Arwani sebagi seorang Doktor muda Maqashid diIndonseis menyatakan bahwa maqasid syari`ah sebagaimana yang didefinisikan olehAbu Ishak as Syatibi (w: 790 H) adalah: sesuatu yang menjaga kemaslahatan umatmanusia baik di dunia maupun di akhirat. (al Muwafaqat: 2/5) Dari definisiglobal ini Ibn `Asyur (w: 1973) dalam bukunya Maqasid as Syari’ah al Islamiyah(Hlm. 165) mencoba me-redefinisi sbb: adalah makna dan hikmah-hikmah yangkeberadaannya selalu diperhatikan oleh Allah dan Rasul-Nya pada setiappenciptaan hukum (arwani-syaerozi.blogspot.com).
Dengan demikian,tujuan-tujuan Tuhan atas syari’at yang diturunkan bagi manusia sebenranyamengembalikan dan menyadarkan fitrah yang telah ada dalam diri manusia, yangseberanya telah Tuhan ciptakan sebelumnya. Sungguh sebuah kenyataan yang luarbisa.
Beberapa saat kemudian,si kecil itu mendekati sepeda yang tengah bersandar di dinding rumah dilokasitersebut. Ternyata ia hendak mengambil sesuatu yang ada dalam keranjang sepeda-entah itu boneka, bola, atau apa-. Sebab postur tubuhnya yang masing mungil,tangannya pun tak mampu menggapai keranjang tersebut. Tangannya hanya samapipada ujung-ujung keranjang saja. Hampir tiga kali ia ayunkan tangannya demimendapatkan apa yang ada dalam keranjang. Namun, usahanya hanya menghasilkanposisi sepeda yang mendoyong dan bergerak jatuh ke arahnya.
Temannya hanya sedang santai,dan asyik duduk terkejut dan spontan ia angkatkan badanya menahan sepeda yanghampir menimpa teman kecilnya. Akhirnya, si kecil pun terselamatkan. Dan sepedajuga disimpan tergeletak.
Jika bagi sebagian orang yang melihat kejadian ini atau hanya mendapatkan informasi lewat bacaan yang ditulis ini menganggap suatu yang biasa-biasa saja. Bagi saya justru kejadian ini sangat berharga dan begitu mengetuk pemahaman saya tentang hakikat manusia.
Andai kata kejadian ini terjadi pada orang dewasa, mungkin hal tersebut tak akan menjadi pembuka inspirasi. Akan tetapi hal tersebut justru terjadi pada anak-anak yang umurnyadi bawah tingkat ideng (b. Sunda: belum bisa berpikir memilah mana yangharus dan tidak untuk dilakukan).
Saya sikapi bahwa hakikat manusia memiliki dorongan memunculkan, menciptakan dan menuju kemaslahatan, danmenghindari sesuatu yang berbahaya. Dalam diri manusia tertanam unsur motivasi melakukan kebaikan, membantu, menolong, atas sesamanya dan bahkan bagi makhlukyang lain. Bagaimana seorang anak kecil yang masih berumur sekitar tiga sampaiempat tahun melakukan tindakan pretentif dan menolong teman kecilnya tertimpa bahaya tanpa sedikit pun ada intruksi ekstrn- orang tua atau orang yang adadi sekitarnya saat itu-. Justru intruksi yang ia dapat merupakan faktor intern dirinya. Ia spontan dapat melakukan tindakan maslahat tersebut dengan sukses.
Dari sini dapat sedikit disimpulkan ternyata unsur kebaikan, kemaslahtan, menolong, membantu sertamenghindar dari aspek-aspek bahaya, merugikan, merusak adalah salah satu fitrahmanusia yang patut disadari.
Dalam Studi Islam dalamRagam Dimensi dan Pendekatan, Prof. Dr. Muhamin dan kawan-kawannya (2012: 2)pernah menyinggung hal-hal demikian. Menurutnya manusia diciptakan bersaamaandengan fitrahnya, yakni kondisi sekaligus potensi bawaan yang berasal dari danditetapkan dalam proses penciptaan manusia atau citra awal yang ada dalam dirimanusia yang dibawa sejak lahir, potensi itu ada dan tercipta bersama dengan prosespenciptaan manusia. Dalam duni psikologi potensi fitrah ini sering diistilahkanherditas. Ini sepadan dengan apa yang pernah diungkapkan al-Asfihani dan Ibn Atsur.
Jika menurut pengarang buku di atas mengatakan bahwa fitrah manusia itu begitu sangat banyak mencakupseluruh karakter dan dimensi yang ada dalam diri manusia, akan tetapi menurutnya ada fitrah yang urgen, yakni (1). Fitrah beragama, (2). Fitrah berakal, (3). Fitrahbelajar, (4). Fitrah sosial, (5). Fitrah susila, (6). Fitrah berekonomi, (7). Fitrahberpolitik, (8). Fitrah seksual (Muhaimin, dkk, 2012: 46).
Bagi saya, ada unsur fundamental yang menjadi fitrah manusia sekaligus mencakup keseluruhanfitrah-fitrah yang tak terhitung jumlahnya, yakni fitrah kemaslahatan; dalamarti menarik sebuah maslahat dan meniadakan kemafsadatan. Demikian halnyafitrah ini serasi dengan titah-titah Tuhan sebagai penciptanya. Bagaimana Tuhanmampu menciptakan manusia bersamaan dengan nilai-nilai kemaslahatan merupakansimbol bahwa Ia mengerti akan fitrah yang dimiliki manusia.
Apabila ditarik dalamranah kajian Ushul fiqh, konsep semacam ini senada dengan teori metodologimaqashid Syari’ah. Kang Wawan Arwani sebagi seorang Doktor muda Maqashid diIndonseis menyatakan bahwa maqasid syari`ah sebagaimana yang didefinisikan olehAbu Ishak as Syatibi (w: 790 H) adalah: sesuatu yang menjaga kemaslahatan umatmanusia baik di dunia maupun di akhirat. (al Muwafaqat: 2/5) Dari definisiglobal ini Ibn `Asyur (w: 1973) dalam bukunya Maqasid as Syari’ah al Islamiyah(Hlm. 165) mencoba me-redefinisi sbb: adalah makna dan hikmah-hikmah yangkeberadaannya selalu diperhatikan oleh Allah dan Rasul-Nya pada setiappenciptaan hukum (arwani-syaerozi.blogspot.com).
Dengan demikian,tujuan-tujuan Tuhan atas syari’at yang diturunkan bagi manusia sebenranyamengembalikan dan menyadarkan fitrah yang telah ada dalam diri manusia, yangseberanya telah Tuhan ciptakan sebelumnya. Sungguh sebuah kenyataan yang luarbisa.
Komentar
Posting Komentar